TENGGARONG – Suasana meriah menyelimuti Desa Kota Bangun III, Kecamatan Kota Bangun Darat, Kutai Kartanegara, ketika aroma manis cenil yang baru matang mulai tercium di sekitar lapangan desa, Rabu (30/4/2025).
Warga berbondong-bondong datang, bukan hanya untuk mencicipi, tetapi juga menyaksikan langsung Festival Cenil yang menghadirkan tak kurang dari 70 loyang cenil warna-warni hasil kreasi masyarakat.
Festival yang digagas Pemerintah Desa Kota Bangun III ini bukan sekadar pesta kuliner biasa. Ia menjadi panggung kolaborasi antara pelaku UMKM lokal, pengrajin kue tradisional, generasi muda, hingga pegiat seni budaya.
Semua bahu-membahu menghidupkan kembali salah satu camilan tradisional khas Nusantara—cenil—yang selama ini mulai tergeser oleh jajanan modern.
Kepala Desa Kota Bangun III, Lilik Hendrawanto, mengungkapkan bahwa festival ini lahir dari keresahan sekaligus harapan.
"Bahan baku cenil itu sangat melimpah di desa kami. Singkong, kelapa, gula merah—semuanya ada. Kenapa tidak kita manfaatkan jadi kekuatan ekonomi dan budaya lokal?” ucap Lilik dengan antusias.
Tahun ini, sebanyak 70 loyang cenil dipamerkan sekaligus dibagikan secara gratis kepada para pengunjung. Jumlah ini naik hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Setiap loyang mewakili satu kelompok warga, RT, atau komunitas pengrajin lokal, yang masing-masing menampilkan kreasi cenil terbaik mereka.
Mulai dari cenil pelangi berbentuk bunga, cenil mini berbentuk hati, hingga cenil dengan taburan keju dan inovasi topping kekinian lainnya, menjadi suguhan yang menggoda lidah dan mata. Festival ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga visual, kreativitas, dan cerita di balik proses pembuatannya.
“Ini bukan hanya camilan. Setiap loyang punya cerita. Dari tangan ibu-ibu, anak muda, sampai kakek nenek yang ingin mengenang masa kecil. Kita lombakan juga kreasi terbaik, dan pemenangnya akan mendapat hadiah dari panitia,” ujar Lilik.
Festival ini tak hanya menampilkan kuliner, tetapi juga menyuguhkan pertunjukan seni budaya lokal, seperti tari daerah, musik tradisional, hingga permainan anak-anak tempo dulu.
Anak-anak sekolah dilibatkan aktif, baik sebagai peserta lomba mewarnai bertema pangan lokal, maupun sebagai pengisi acara pentas seni.
Dinas Pariwisata Kukar pun turut hadir sebagai juri dan pendukung kegiatan ini. Penilaian dilakukan untuk memilih cenil dengan tampilan, rasa, dan kreativitas terbaik.
Bagi pengunjung, festival ini menjadi ajang nostalgia, sekaligus edukasi mengenai pentingnya melestarikan kuliner tradisional.
“Siapa pun boleh datang dan mencicipi. Gratis. Kami sengaja bikin terbuka supaya semua orang bisa merasakan langsung kekayaan rasa lokal yang hampir punah,” tambah Lilik.
Lilik berharap Festival Cenil dapat terus digelar setiap tahun dan berkembang menjadi destinasi kuliner dan budaya khas Kota Bangun III. Ia menyebut, dengan pengemasan yang lebih matang, festival ini bisa menjadi magnet wisatawan dari luar daerah.
“Bayangkan kalau tahun depan kita bisa bikin 100 loyang, dan setiap desa di sekitar sini ikut ambil bagian. Ini bisa jadi event besar, bukan hanya bagi kami, tapi untuk Kukar juga,” ucapnya optimistis.
Selain menyentuh aspek ekonomi dan pariwisata, festival ini juga dinilai sebagai alat perekat sosial. Warga desa bekerja sama, bergotong royong, dan saling belajar.
Anak-anak mengenal makanan tradisional yang mulai langka, sementara para orang tua mendapat ruang untuk berbagi pengalaman.
Festival Cenil 70 Loyang ini membuktikan bahwa dari sebuah makanan sederhana, bisa lahir semangat besar: untuk mencintai budaya, menggerakkan ekonomi, dan membangun desa dengan rasa yang tak terlupakan. (adv)