TENGGARONG – Di tengah lalu lintas padat antara Samarinda dan Tenggarong, aroma manis dan gurih kue keroncong menggoda siapa saja yang melintas di tepian Desa Teluk Dalam.
Di sanalah, kuliner khas yang telah melegenda ini tak sekadar menjadi panganan ringan, tetapi simbol jati diri sekaligus roda ekonomi masyarakat lokal.
Kue keroncong—bulat mungil berwarna kecokelatan—terbuat dari campuran tepung beras, gula merah, santan, dan sedikit garam.
Disajikan hangat dengan taburan kelapa parut, setiap gigitannya menyimpan rasa nostalgia, mewakili kekayaan kuliner Kutai yang hampir punah ditelan zaman.
Namun di Teluk Dalam, kue ini tidak pernah hilang. Justru sebaliknya, ia hidup dan terus menghidupi.
“Kue keroncong ini bukan sekadar jajanan. Ini identitas desa kami, sekaligus sumber nafkah utama warga,” ujar Kepala Desa Teluk Dalam, Supian, Sabtu (29/3/2025).
Menurutnya, saat ini terdapat sedikitnya 30 pedagang kue keroncong yang berjajar di sepanjang jalan utama desa.
Sebagian besar di antaranya telah berdagang turun-temurun selama puluhan tahun. Dari hasil kue inilah, anak-anak disekolahkan, dapur tetap mengepul, dan impian tentang desa wisata perlahan terbangun.
Tak tanggung-tanggung, pemerintah desa telah mengusulkan penataan khusus agar Teluk Dalam bisa menjadi Kampung Wisata Kuliner Keroncong.
Lokasinya akan dipusatkan di sekitar Gedung Putri Karang Melenu (PKM), memanfaatkan aset pemerintah kabupaten untuk menciptakan ruang kuliner yang rapi, aman, dan layak dikunjungi wisatawan.
“Kami ingin jadikan kawasan itu pusat keroncong, agar tidak lagi menumpuk di tepi jalan dan mengganggu arus lalu lintas,” kata Supian.
Lebih dari sekadar penataan, Pemdes juga tengah mendorong keseragaman rombong atau gerobak dagang.
Gerobak dicat seragam, diberi identitas visual yang menarik, bahkan kemungkinan akan dilengkapi QR code agar pembeli bisa langsung tahu lokasi, kisah, dan bahan baku yang digunakan setiap pedagang.
“Visual itu penting. Ketika orang datang, mereka bukan hanya beli jajanan, tapi dapat pengalaman. Kami ingin bangun itu dari Teluk Dalam,” ujar Supian penuh semangat.
Potensi ekonomi kue keroncong bukan sekadar cerita. Dengan rata-rata pendapatan harian Rp70 ribu hingga Rp100 ribu per pedagang, jika dikalikan 50 pedagang saja, maka perputaran uang bisa mencapai Rp105 juta per bulan.
Angka yang sangat signifikan bagi desa dengan ekonomi berbasis UMKM dan sektor informal.
“Kalau ini dikelola dengan baik, kue keroncong bisa jadi ikon baru Kukar. Dan Teluk Dalam jadi wajah baru wisata kuliner yang khas dan otentik,” lanjutnya.
Untuk itu, pemerintah desa secara bertahap menggelar sosialisasi kepada pedagang, sambil membuka dialog lintas instansi agar pembangunan sentra kuliner keroncong bisa didukung dari berbagai sektor: pariwisata, UMKM, infrastruktur, dan promosi digital.
Supian berharap, Festival Kue Keroncong kelak bisa digelar setiap tahun, menampilkan berbagai varian rasa, demo masak tradisional, hingga panggung hiburan rakyat.
Ia ingin anak-anak muda kembali bangga pada warisan nenek moyangnya, dan menjadikannya ladang usaha yang menjanjikan. “Kue ini sederhana, tapi menyatukan banyak hal: rasa, sejarah, kebersamaan, dan harapan akan desa yang lebih maju.” (adv)