media-masa.id - Security, Affordability, dan Sustainability adalah tiga faktor penting dalam menilai industri energi suatu negara, seperti yang disebut sebagai Energy Trilemma. Kekuatan sektor energi suatu negara ditentukan oleh seberapa seimbang tiga hal tersebut, yang seringkali bertentangan satu sama lain. Dimulai dengan pertimbangan antara ketiga kriteria dan kemudian menentukan kriteria mana yang paling penting dalam situasi saat ini. Pada tahun 2022, Indonesia Trilemma Index adalah 59.7, jauh lebih rendah dari 85 pada tahun 2016.
Masalahnya adalah bahwa sumber daya alam tidak sama di setiap negara, dan tingkat kemajuan ekonomi negara tidak sama dengan tingkat ketergantungan mereka pada sumber daya alam. Kondisi sosial ekonomi rakyat juga menentukan sejauh mana sumber daya alam diolah dan kebutuhan dasar apa yang paling penting. Pada tahun 2022, tercatat bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia, menempati peringkat kedua di dunia. Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau yang memiliki lebih dari 19.000 spesies tanaman dan ikan.
Dalam IPA 2023 di Serpong, WoodMac baru-baru ini mengeluarkan laporan yang memperkirakan bahwa Indonesia akan mengimpor LNG pada tahun 2040. Indonesia masih dapat mengekspor LNG, meskipun pada masa lalu negara ini pernah menjadi eksportir LNG terbesar di dunia. Saat ini kita juga menjadi eksportir batubara yang besar. Berkaitan dengan energi, ekspor nikel bahkan menjadi prioritas utama karena kebutuhan global terhadap material baterei sebagai penyimpan energi.
Kehandalan Sumber Daya Energi
Dampak kehandalan pasokan energi ini sangat besar pada ekonomi suatu negara. Di masa lalu, ketika terjadi konflik, harga energi selalu meningkat tajam, diikuti oleh kenaikan harga komoditas lainnya, serta biaya logistik dan transportasi. Setiap peristiwa penting menyebabkan perubahan kebijakan yang signifikan. Negara-negara maju membentuk IEA setelah pembentukan OPEC tahun 1960, yang menyebabkan harga minyak melonjak.
Terakhir, konflik Rusia-Ukraina dan pandemi membuat banyak kebijakan energi beralih ke energi terbarukan. bahkan hingga beberapa negara harus menanggung konsekuensi sendiri dengan menghidupkan kembali pembangkit listrik yang bergantung pada batubara. Banyak negara berkembang, termasuk Filipina, Vietnam, dan Bangladesh, kembali menghidupkan program nuklir mereka untuk energi, meskipun energi nuklir sebelumnya akan ditinggalkan.
Untuk mendukung kemajuan ekonomi, Indonesia membutuhkan energi yang sangat besar. Saat ini, 257 MTOE diperlukan untuk energi ekuivalen, tetapi pada tahun 2050 diperlukan 1.000 MTOE untuk mencapai Indonesia Maju. Satu kompleks industri pengolahan nikel di Morowali menghasilkan 700 gigawatt jam listrik, yang merupakan 30% dari total kapasitas pembangkit listrik di Sulawesi Tengah, yang akan mencapai 2.100 gigawatt jam pada 2021. Dengan kata lain, kompleks industri pengolahan nikel berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan kebutuhan listrik di Sulawesi Tengah.
Kebiasaan baru, terutama yang berkaitan dengan teknologi, telah terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebutuhan energi. Kebutuhan energi untuk transportasi menurun tajam menjadi sekitar 12% dibandingkan sebelum pandemi. Namun, karena kegiatan beralih ke pemukiman dan tempat tinggal melalui penggunaan internet dan teknologi komunikasi, kebutuhan listrik saat pandemi meningkat 8% dibandingkan 6% sebelum pandemi.
Baca: Harga Minyak Makin Melambung, Antisipasi ESDM untuk Gas dan Energi Hayati sebagai Sumber Daya Tambahan
Dibandingkan dengan jenis energi fosil lainnya, gas menghasilkan emisi yang lebih rendah. Tidak mengherankan bahwa Korea dan Jepang sangat bergantung pada gas alam sebagai sumber energi bagi bisnis dan masyarakat mereka. Sebelum penggunaan elektrifikasi dalam transportasi, China menggunakan gas alam untuk beralih ke energi terbarukan dan mengurangi polusi udara di HBT (Huabei-Beijing-Tianjin) pada tahun 2000-an. Olimpiade Beijing 2008 berhasil diadakan di udara yang lebih bersih.
Indonesia menyediakan banyak gas alam. Bahkan negara-negara Eropa Barat sangat bergantung pada gas alam, begitu juga penggunaan di Singapura, meskipun kontrak berakhir tetap menginginkan kelanjutan sebagai salah satu sumber energinya. Pasokan gas Indonesia di masa depan juga lebih aman karena sebagian dari pengelolaan Lapangan Masela diberikan kepada perusahaan negara.
Indonesia dan Brasil adalah juara dunia dalam pasokan dan penggunaan energi hayati. Dengan jumlah lahan perkebunan sawit dan produksi minyak sawit terbesar di Indonesia, keyakinan akan kecukupan pasokan energi hayati dari minyak sawit menjadi lebih kuat. Sekitar 13 juta kiloliter (KL) dari 38 juta kiloliter biosolar mewakili sekitar sepertiga pasokan bahan bakar hayati untuk mesin diesel di Indonesia. Dengan cara yang sama, Brasil, yang unggul dalam produksi gula dari tebu, juga menghasilkan mollase, yang diproses menjadi bioetanol untuk bahan bakar. Dalam hal bensin sebagai bahan bakar bahan bakar bersih, Indonesia sedang berusaha untuk kembali ke arah penggunaan bahan bakar bersih. Tujuannya adalah untuk mencapai kandungan bioetanol hingga 5% pada tahun 2025, seperti yang direncanakan pada tahun 2015.
Reorganisasi Kebijakan Energi Rendah Karbon
Dalam kebijakan pasokan energinya, banyak negara berfokus pada pengoptimalan sumber energi domestik. Rantai pasokan mengalami perubahan yang signifikan sebagai hasil dari krisis pandemi dan konflik berkepanjangan. Tenaga angin adalah sumber energi yang digunakan oleh negara-negara Laut Utara untuk produksi hidrogen. Di masa dating, mereka mengoptimalkan sumber daya domestik untuk menjaga kehandalan dan keamanan pasokan energi. Diharapkan pasokan hidrogen di Inggris Raya mencapai 20-35% dari bauran energinya pada tahun 2050.
Negara-negara yang kaya dengan pasokan hidrokarbon, terutama gas, seperti Amerika Serikat, Australia, dan negara Timur Tengah saat ini juga mulai membangun fasilitas untuk produksi hidrogen dari gas alam sebagai bagian dari transisi menuju ekosistem ekonomi hidrogen. Pada saat yang tepat, ekosistem untuk penyimpanan dan distribusi hidrogen akan siap untuk produksi hidrogen hijau.
Jika cadangan gas yang ada dan akan diproduksi di Indonesia diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan nasional, manfaat jangka panjang mungkin lebih besar. Selain masalah teknologi, kemungkinan investasi besar dalam infrastruktur transportasi dan distribusi adalah masalah utama. Dalam jangka panjang, pembangunan infrastruktur dan ekosistem industri transportasi gas dan bahan bakar hayati akan meningkatkan ketahanan energi dan dampak sosial ekonomi.
Untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga dengan biaya yang lebih rendah, diperlukan pembangunan jaringan pipa gas yang dikombinasikan dengan kebijakan tata kota dan pengawasan tata guna lahan pemukiman. Pasokan LPG mencakup 82% impor dan membutuhkan dana subsidi sebesar sekitar Rp75 triliun setiap tahunnya. Target satu juta sambungan dapat dicapai jika sebagian dana tersebut dialokasikan untuk pengembangan jaringan gas rumah tangga. Tentu saja, kebijakan tata kota yang mengatur pemukiman, pembangunan rumah susun dan apartemen, dan pembangunan jaringan gas, antara lain, harus mendukung hal ini.
Selama ini, industri otomotif menyumbang sekitar 2% PDB, dan kontribusinya terhadap penerimaan negara dan PDB sangat besar. Industri migas mencapai 6.3% PDB pada tahun 2020 sebagai penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak.
Sebaliknya, kendaraan pribadi atau kendaraan umum berbahan bakar bensin tetap menjadi sarana transportasi utama di wilayah kota. Menggunakan 10% bioetanol dalam BBM bensin mengurangi emisi GRK sebanyak 8,8%. Ini karena bioetanol digunakan dalam pencampuran dengan bensin yang banyak digunakan oleh masyarakat. Saat ini, bensin adalah bahan bakar yang dapat meningkatkan ketahanan energi dan keterjangkauan energi di Indonesia karena mudah diakses ke wilayah terpencil dengan infrastruktur yang memadai.
Namun, luas perkebunan tebu saat ini diperkirakan akan meningkat dari 470 juta ha menjadi 700 juta ha untuk memenuhi kebutuhan bioetanol. Selain itu, kebijakan terkait pengelolaan gula dan insentif untuk sektor perkebunan diperlukan untuk memperkuat pasokan gula dalam negeri dan memperbaiki neraca perdagangan Indonesia. Diharapkan juga dapat menambah lapangan kerja di industri perkebunan dan pengolahan. Saat ini, 220 orang diperlukan untuk memproduksi 30.000 KL bioetanol. Kebutuhan tenaga kerja akan meningkat secara bersamaan jika produksi ditingkatkan 200 kali lipat untuk memenuhi kebutuhan E20 nasional.
Selain berfungsi sebagai energi transisi untuk mencapai trilema energi, bioetanol dan gas sangat cocok untuk menjaga ketahanan energi Indonesia. Dengan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia, gas alam dan biofuel dapat dikelola dari hulu ke hilir untuk memenuhi kebutuhan energi nasional untuk menjaga ketahanan energi. Selain itu, sebagai bagian dari transisi global menuju energi bersih, gas dan biofuel merupakan energi transisi yang penting untuk mengurangi emisi karbon. Oleh karena itu, gas dan biofuel lebih ramah lingkungan daripada energi fosil, sehingga dapat memainkan peran penting dalam transisi energi di Indonesia.