Penulis dalam opini ini membahas pentingnya menyeimbangkan tujuan ekonomi nasional—seperti pertumbuhan dan efisiensi anggaran—dengan pelestarian lingkungan. Meskipun pembangunan ekonomi, termasuk melalui efisiensi belanja negara, bisa menguntungkan dalam jangka pendek, pilihan tersebut tidak seharusnya mengorbankan aspek ekologis.
Tulisan menekankan bahwa transisi menuju model ekonomi yang lebih hijau bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Model lama yang fokus pada ekstraksi sumber daya (seperti sawit, batu bara, dan proyek infrastruktur berbiaya besar) telah membawa kerusakan ekologi berupa deforestasi, polusi, dan degradasi habitat . Dalam jangka panjang, dampak tersebut justru menimbulkan risiko ekonomi berupa kerugian akibat bencana alam, kehilangan keanekaragaman hayati, dan biaya kesehatan.
Penekanan utama opini ini yaitu strategi pembangunan harus mencakup:
- Efisiensi fiskal — memangkas pengeluaran negara yang tidak produktif agar tetap hemat tetapi tetap mendukung pertumbuhan jangka panjang .
- Investasi ke arah ekonomi hijau atau biru, seperti energi terbarukan dan pelestarian laut — menggunakan potensi laut, bioenergi, dan reformasi kelapa sawit dengan tetap menjaga ekosistem .
- Adopsi ekonomi sirkular — meminimalkan limbah dan mendaur ulang sumber daya untuk menjaga keberlanjutan jangka panjang .
Tulisan juga menyarankan reformasi kebijakan fiskal—misalnya menerapkan pajak progresif atau pajak karbon—untuk mengarahkan pendanaan publik dan swasta ke proyek yang sejalan dengan tujuan keberlanjutan antar generasi .
Kesimpulannya, penulis mendesak pemerintah dan pelaku ekonomi untuk merumuskan paradigma pembangunan yang “win‑win”: tetap mendukung pertumbuhan ekonomi, namun tidak lagi dengan mengabaikan kerusakan ekologis. Solusi seperti ekonomi hijau, biru, dan sirkular dianggap sebagai jalur terbaik untuk mencapai tujuan tersebut.
